Kali ini salah satu cerpen karyaku. Saat akan menulis cerita, banyak sekali kisah yang bisa kita tuangkan dalam cerpen itu sendiri. Bisa jadi dari pengalaman pribadi, pengalaman teman, maupun berimajinasi. Kali ini, aku mendapat ide dari pengalaman teman sekelasku. Read this guys!
TERTOREH
LUKA DI PINTU UTAMA
Karya
Khansa Iffat Budyati
“Fyuh, akhirnya nggak ketemu guru-guru
itu lagi,” ucap Rindy saat memasuki gerbang sekolah dengan sepedanya.
“Telat lagi, Rin?” teriak Mas Arif,
satpam di sekolahnya.
“Iya, Mas. Macet!” sahut Rindy
sambil mengebut menuju tempat parkir sepeda.
Begitulah keseharian Rindy. Siswi
kelas VIII di SMP Budi Mulia ini sering terlambat datang ke sekolah dan
mencari-cari alasan terjebak macetlah, ban sepeda kempeslah, atau bangun
kesiangan. Segera ia memarkirkan sepedanya, berlari menuju kelas, dan bergegas
menuju tempat duduknya.
“Syukurlah, bu guru belum datang.
Selamat... selamat...selamat,” ujarnya.
Keesokan harinya, ia mengulangi hal
yang sama. Ia datang terlambat lagi. Namun, saat memasuki kelas, ternyata Bu Musdalifah,
wali kelasnya, sudah berada di dalam kelas.
“Rindy, kamu terlambat lagi, Nak?”
tanya Bu Mus.
“Maaf, Bu, tadi ban sepeda saya
bocor,” jawab Rindy terengah-engah.
“Kalau setiap hari kamu terlambat,
apakah setiap hari ban sepedamu juga bocor? Pasti kamu bangun kesiangan, kan?”
tanya Bu Mus.
Rindy hanya tersenyum kecil menahan
malu. Teman-temannya pun menyorakinya. Rindy segera menempati bangkunya. Barisan
paling kiri bangku kedua dari belakang.
“Ban bocor atau bangun kesiangan?
Hahaha....” ledek Diki, salah satu temannya.
“Ih, sebel. Setiap hari aku bangun
pukul 05.00. Mana mungkin aku bangun kesiangan,” jelas Rindy.
“Anak-anak, mohon perhatiannya. Saya
akan mengumumkan peraturan baru di sekolah. Jadi, simak baik-baik ya...” ujar
Bu Mus di depan kelas.
“Ya, Bu...” sahut anak-anak
serentak.
“Dari hasil rapat dewan guru 2 hari
lalu, mulai minggu depan sekolah kita akan memberlakukan peraturan baru.
Setelah bapak ibu guru mengamati banyak siswa yang datang terlambat, maka,
mulai minggu depan setiap pukul 07.00 pintu utama sekolah akan ditutup,” jelas
Bu Mus. “Jadi, siapa yang terlambat, dapat lewat pintu samping dan akan dicatat
oleh guru BK yang bertugas,” sambung Bu Mus lagi.
“Yah...” ucap Rindy.
“Nah, Rindy. Maka kamu jangan
terlambat. Karena jika sudah tertulis 3 kali terlambat, maka orang tua kalian
akan dipanggil ke sekolah,” kata Bu Mus.
Mendengar hal itu, Rindy merasa
kesal. Karena Bu Mus terus mengungkit kebiasaan Rindy terlambat ke sekolah. Waktu
terus berlalu, tak terasa telah tiba saatnya peraturan baru dilaksanakan.
Namun, Rindy masih saja terlihat datang terlambat. Saat itu, Mas Arif baru saja
mengunci pintu utama. Dan seperti yang dikatakan Bu Mus, Bu Puji, salah seorang
guru BK di sekolahnya, telah bersiap di depan pintu samping sekolah. Beliau
mencatat nama anak-anak yang terlambat pada saat itu.
“Ah, berurusan dengan guru itu lagi!
Males banget! Mana di belakang sudah nggak
ada yang terlambat, lagi. Pasti ibu itu akan berceramah panjang lebar,” gumamnya.
“Rindy,
tenyata kamu sering terlambat, ya? Ibu juga tidak pernah melihatmu bersalaman dengan bapak ibu guru setiap pagi,”
kata Bu Puji.
“Saya naik sepeda, Bu, jadi sering
terlambat. Kan macet di jalan,” jawabnya.
“Makanya, kamu bangun lebih awal
dari biasanya agar tidak terlambat! Ibu sudah mencatat namamu, sekarang kamu
boleh masuk,” sambung Bu Puji.
Rindy cepat-cepat masuk kelas. Baru
saja ia duduk, Pak Amir masuk kelas dan memulai pelajaran Matematika.
“Lho,
Rin, masih terlambat lagi? Bukannya hari ini sudah diberlakukan peraturan baru?”
tanya Gaby, teman sebangkunya.
“Yach..!
Aku terpaksa lewat pintu samping dan bertemu Bu Puji, guru BK nyebelin itu!” jawab Rindy setengah
berbisik.
“Sebegitu
bencinya kamu sama Bu Puji, memang ada apa sih?” desak Gaby terus.
“Pasti
kamu sudah tau alasannya. Aku sering sekali berurusan dengannya,” jawabnya. “Oh, begitu rupanya. Berarti setiap pagi
kamu tidak pernah bersalaman dengan bapak ibu guru?” ujar Gaby.
“Buat
apa harus bersalaman? Apalagi dengan
guru BK yang sok, itu,” ketusnya, “Sudahlah!
Gak perlu dibahas lagi, dimarahi Pak Amir tau rasa, kamu!” imbuh Rindy.
Tak terasa, pelajaran Pak Amir telah
usai dan dilanjutkan dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Seharian ini Rindy
tampak tidak fokus mengikuti pelajaran di kelas. Bahkan, ketika tadi Pak Amir
memberi pertanyaan kepadanya, ia tak bisa menjawab. Padahal, ia sangat suka
pelajaran matematika. Biasanya bisa mengerjakan soal-soalnya dengan mudah.
Namun, belakangan ini ia sering melamun, memikirkan apa yang harus ia lakukan
besok agar tidak bertemu Bu Puji.
Waktu berjalan begitu cepat. Kini
sudah pukul 13.00. Jam pelajaran telah usai. Waktunya pulang ke rumah. Rindy
segera mengambil sepedanya di tempat parkir dan mengayuhnya dengan santai. Di
jalan ia masih saja memikirkan cara untuk menghindari Bu Puji esok hari.
“Hmm, apa yang harus kulakukan besok
ya? Kalau sampai sekolah sebelum atau sesudah pukul 7 pasti akan bertemu
dengannya. Bagaimana jika pukul 6? Pasti belum ada guru yang bertugas di pintu utama.
Hmm, tapi mustahil bagiku untuk datang sepagi itu,” pikirnya.
Hari berganti hari tak bisa Rindy
hindari. Ia harus bertemu kembali dengan Bu Puji.
“Sudah kedua kalinya kau terlambat,
Rin. Jika besok kau terlambat lagi, lusa ibumu harus datang menemui saya di
sekolah,” kata Bu Puji.
“Iya, Bu. Saya tahu itu. Ibu sudah
mencatat nama saya, kan? Sekarang saya boleh masuk?” pinta Rindy.
“Tidak secepat itu. Apa kamu tidak
merasa melakukan kesalahan selain datang terlambat?” tanya Bu Puji sambil
memandang ke arah sepatu Rindy.
“Oh, sepatu hitam saya di rumah, Bu.
Nanti saya ada ekstra kurikuler basket, jadi saya memakai sepatu yang ini,”
jawabnya.
“Sepatu birumu Ibu sita sampai kau
lulus. Lalu sepatu merahmu ini? Harus Ibu sita sampai kapan? Sampai kau kuliah?
Apa kau mau begitu?” cetus Bu Puji.
“Jangan, Bu.... Lantas, saya pakai
sepatu apa hari ini?” tanyanya.
“Ya sudah kalau begitu. Sekarang
lepas sepatumu. Ambil sepulang sekolah nanti. Segeralah masuk kelas,” jawab Bu Puji.
“Berarti saya harus mengikuti
pelajaran tanpa sepatu?” tanyanya lagi.
“Tentu saja! Ibu akan memberitahukan
hal ini kepada guru yang mengajar di kelasmu hari ini,” kata Bu Puji.
Rindy
melepas sepatunya. Berjalan gontai menuju ruang kelasnya sambil menunduk malu.
Beruntung tidak ada yang melihatnya, karena semua murid sudah masuk kelas pagi
itu.
“Lho, Rin. Sepatumu ke mana?” tanya
Ridho, sesampai di kelasnya.
“Keberuntungan sedang tidak
memihakku, Dho. Disita Bu Puji lagi. Baru boleh ku ambil nanti sepulang
sekolah,” jelas Rindy.
“Oh begitu, ya? Syukurlah masih bisa
dipakai untuk basket nanti sore,” ucap Ridho.
Pelajaran demi pelajaran Rindy lalui
tanpa mengenakan sepatu. Ia sangat tersiksa. Ia merasa sangat malu. Ia tak bisa
ke mana-mana, walau hanya beranjak dari tempat duduknya. Saat jam istirahat
pun, ia tak bisa pergi ke kantin untuk membeli makanan. Ia hanya berdiam diri
menahan rasa laparnya sampai ia mendapatkan sepatunya kembali.
Bel pulang sekolah telah berbunyi.
Namun, Rindy tak kunjung keluar kelas. Ia menunggu keadaan di luar sepi, agar
tak ada yang mengetahui bahwa dirinya tak mengenakan sepatu. Sesudah sepi, ia
segera memasuki ruang BK untuk mengambil sepatunya.
“Permisi,
Bu. Saya mau mengambil sepatu,” ucap Rindy lembut.
“Sudah
kapok, Rin?” sahut Bu Puji. Rindy hanya diam menundukkan kepala.
“Itu
ambillah sepatu merahmu! Besok jangan dipakai lagi, dan jangan terlambat pula. Ingat kata-kata ibu
tadi pagi,” sambung Bu Puji.
“Ya,
Bu. Terima kasih,” jawab Rindy.
Rindy segera memakai sepatunya dan keluar
dari ruang BK. Ia keluar dengan muka sangat kesal. Meski sudah mendapatkan
sepatu basketnya, tetapi ia merasa sangat terpukul ketika melihat sepatu birunya
yang tergeletak begitu saja di ruang BK. Sudah sekitar tiga bulan sepatunya
berada di sana semenjak Bu Puji menyitanya.
Tak terasa hari sudah beranjak petang.
Latihan basket pun usai sudah. Kini Rindy benar-benar berpikir keras, bagaimana
caranya untuk menghindari Bu Puji besok. Ia tak boleh terlambat untuk ketiga
kalinya. Ia tak mau ibunya dipanggil ke sekolah hanya untuk menemui Bu Puji di
ruang BK.
“Wah,
sepertinya aku memang harus datang pukul 06.00, agar tidak bersalaman dengan
bapak ibu guru, dan terlebih tidak bertemu Bu Puji,” pikirnya.
Ketika
makan malam, Rindy meminta pada mamanya agar besok dibangunkan pukul 04.00.
Mamanya heran atas permintaan Rindy. Ia juga minta dibuatkan bekal untuk
sarapan di sekolah.
“Memangnya ada apa kok mau berangkat
pagi?” tanya mama.
“Gak
apa-apa kok, Ma, takut telat, ” jawab Rindy.
Kemudian
Rindy pergi tidur. Ia berharap besok bisa bangun pagi. Sebelum tidur, ia tak
lupa menyetel alarm HP-nya, untuk jaga-jaga jika mama lupa membangunkannya.
Tapi apa boleh buat, ketika ia terbangun, jam dinding telah menunjukkan pukul 06.00
pagi. Kini Rindy benar-benar bangun kesiangan. Mamanya pun baru saja bangun.
“Mama,
kenapa tidak membangunkanku? Sekarang aku malah terlambat!” teriak Rindy sambil
berlari menuju kamar mandi.
“Maaf,
Nak. Mama juga kesiangan, nih. Jadi dibuatkan bekal, tidak?” tanya mama.
“Gak
usah, Ma. Biar Rindy jajan di kantin saja. Aku sudah benar-benar terlambat,”
jawabnya.
Dengan cepat dikayuhnya sepedanya.
Rindy memilih lewat gang-gang kecil. Ia tak mau terlambat. Ia tak mau mamanya
dipanggil ke sekolah jika kali ini ia terlambat lagi.
“Aduh....
Kurang 5 menit. Aku pasti terlambat lagi,” ucapnya ketika melihat jam di tangannya,
“Mana lampu merah, lagi..... Duh!!” keluhnya.
Sesampainya
di sekolah, gerbang masih terbuka, tetapi pintu utama telah terkunci. Hanya
tersisa pintu samping yang dapat ia lewati. Di depan pintu itu, Bu Puji telah
bersiap. Rindy merasa sangat takut bila Bu Puji mengetahui bahwa dirinya datang
terlambat hari ini. Dan keputusan yang dibuat Rindy secara mendadak adalah ia
memutar arah sepedanya, ia mengebut keluar dari gerbang sekolah, dan tiba-tiba
“braaak!!!!”. Sebuah motor yang melaju dengan kencang menabraknya.
“Aaaaa!!! Tolong.... Tolong aku....ha....aaa....aaa”
teriak Rindy sambil menangis.
“Mas Arif, apa yang terjadi di
depan?” tanya Bu Puji kepada Mas Arif yang sedang berada di pos satpam.
“Wah, Rindy! Bu, Rindy tertabrak
motor !!” sahut Mas Arif.
“Ya ampun, anak itu! Mari, Mas, kita
bantu, bawa dia ke UKS dahulu,” kata Bu Puji.
Rindy yang baru saja tertabrak motor
terus menangis. Darahnya bercucuran sangat banyak. Segera Mas Arif
menggotongnya ke UKS. Dan untunglah pengendara motor tidak mengalami luka parah.
“Mas,
tolong beritahu Pak Iwan untuk menyiapkan mobil sekolah. Kita harus segera membawa
Rindy ke rumah sakit,” ujar Bu Puji.
“Baik,
Bu,” jawab Mas Arif.
Ditemani Bu Mus, Bu Puji dan Mas
Arif, Pak Iwan membawa Rindy ke rumah sakit terdekat. Di dalam mobil, Rindy
terus menangis sambil menahan rasa sakitnya. Bu Mus juga segera menelfon Mama
Rindy untuk menyusul ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Rindy segera
dibawa ke UGD. Di sana, dokter mengatakan bahwa Rindy mengalami patah tulang
kaki sebelah kanan dan harus segera dioperasi.
Bu Puji, Mas Arif, Pak Iwan, dan Bu Mus
menunggu di depan ruang operasi sambil menantikan kedatangan Mama Rindy. Tak
lama kemudian, mamanya datang. Bu Puji menceritakan apa yang telah menimpa
Rindy tadi pagi. Setelah melalui 4 jam proses operasi, Rindy sudah dipindahkan
ke ruang pasien. Namun, hanya Mama dan Bu Puji saja yang bisa menunggu Rindy di
rumah sakit. Bu Mus dan Pak Iwan, dan Mas Arif kembali ke sekolah.
“Kau
sudah sadar, Rin? Ini Mama. Bu Puji juga di sini,” kata Mama kepada Rindy yang
masih terbaring lemah di tempat tidur. Rindy hanya tersenyum kecil melihat
mamanya. Tak sedikitpun mau melihat Bu Puji.
“Mari,
Bu, duduk di sini. Akan saya ambilkan minum untuk Bu Puji,” ucap Mama.
“Ma,
sekarang aku mau sendiri dulu. Mama dan Bu Puji keluarlah dulu,” pintanya.
“Em, baiklah. Jika kau membutuhkan
sesuatu, panggil Mama, ya. Mama ada di depan. Pintunya akan kubiarkan membuka
sedikit,” jawab mama sambil keluar kamar.
Karena
sudah siang Bu Puji berpamitan untuk pulang. Rindy lega, karena ia tak mau Bu
Puji menjenguknya. Ia tak mau melihat Bu Puji untuk saat ini. Sekitar pukul 2
siang, Gaby dan mamanya menjenguk Rindy ke rumah sakit. Sepertinya Gaby
langsung mengajak mamanya menjenguk Rindy sepulang sekolah, karena ia masih
mengenakan seragam sekolah.
“Rindy,
ini Gaby dan mamanya datang menjengukmu,” ucap Mama.
“Bagaimana
keadaanmu, Rindy?” tanya Mama Gaby.
“Ya
seperti ini, Tante. Tadi pagi saya harus menjalani operasi, karena patah tulang
di bagian kaki kanan saya,” jawabnya.
“Cepat
sembuh ya, Rin. Tadi teman-teman sekelas terkejut setelah mendengar kabar dari
Bu Mus bahwa kau baru saja mengalami kecelakaan,” ucap Gaby.
“Terma
kasih, Gab,” jawab Rindy. Kemudian, Mama Gaby meninggalkan mereka berdua di
kamar.
“Rin,
aku dengar mamamu tadi bilang kalau kau ingin sendiri di kamar. Apa yang kau
pikirkan, Rin? Tidak biasanya kau betah sendirian saja seperti itu,” tanya
Gaby.
“Aku
tak mau melihat Bu Puji, jadi kukatakan kalau aku ingin sendiri,” jawabnya.
“Kamu
itu! Sedang sakit saja masih bisa merasa kesal dengannya,” sahut Gaby sambil menggelengkan
kepalanya.
“Habis
bagaimana lagi, sudah terlanjur benci,” sambungnya.
“Sejujurnya,
apa sih yang membuat rasa kesal itu masih terus melekat? Aku heran denganmu,
Rin,” ucap Gaby.
“Kau
masih ingat sepatu biruku yang disita Bu Puji?” kata Rindy pelan.
“Oh,
sepatu warna biru kuning yang sering kamu pakai itu?” sahut Gaby.
“Iya!
Padahal itu sepatu kesayanganku. Asal kamu tahu ya! Sepatu itu adalah hadiah
ulang tahunku yang ke-13 dari ayahku. Sekarang ayahku sudah tidak ada. Wajar,
kan, kalau ingin sering kupakai? Setiap aku pakai, pasti disita. Ketika sudah
dikembalikan, aku pakai lagi, disita lagi! Sudah 5 kali sepatu itu disita Bu
Puji. Dan sepatuku itu, kini tergeletak begitu saja di ruang BK. Berdebu,
lagi! Dan baru boleh kuambil kalau aku
sudah lulus sekolah. Coba kau pikir, bagaimana nggak kesal!” jelas Rindy.
“Oh,
sekarang aku tau penyebabnya. Terakhir Bu Puji menyitanya tiga bulan lalu saat
kau bersalaman di pintu utama, kan? Dan sekarang kau tak pernah mau bertemu dan
bersalaman dengannya tiap pagi?” tanya Gaby heran.
“Ya!
Kau benar!” sahut Rindy.
Ya, di sekolah mereka ada pembiasaan
Budaya 3S, yaitu Senyum, Salam, dan
Sapa. Setiap pagi sebelum pukul 07.00, pasti ada guru yang bertugas di
pintu utama, khususnya guru BK untuk menyalami muridnya. Budaya bersalaman ini
sudah diterapkan sejak lima tahun lalu.
Bu Puji adalah guru BK yang paling dibenci Rindy. Maka Rindy tidak
pernah mau melewati pintu utama untuk bersalaman setiap pagi. Sebenarnya Rindy
adalah anak yang baik, pandai, dan berasal dari keluarga berada. Ibunya punya
butik terkenal di kotanya. Di sekolah, ia terkenal sebagai anak yang memiliki style yang sangat keren. Tas yang
dipakainya merupakan tas bermerk, model jaketnya beragam, apalagi model
sepatunya. Berganti-ganti. Membuat teman-temannya kagum padanya.
Namun, setiap pagi Rindy berangkat
sekolah hanya naik sepeda. Ia tak pernah mau diantar dengan mobil seperti
anak-anak yang lain. Selain karena ibunya terlalu sibuk jika harus mengantarnya
setiap pagi, ia tak suka kalau harus pergi ke sekolah dengan sopir. Ayahnya
sudah meninggal setengah tahun yang lalu karena serangan jantung. Jadi,
sekarang ia harus berusaha bersikap mandiri.
“O,...
jadi seperti itu ya. Bagaimana jika aku sampaikan hal ini kepada Bu Puji agar
semuanya membaik seiring berjalannya waktu?” pikir Gaby dalam hati.
“Ya
sudah ya, Rin. Kurasa aku harus pulang sekarang. Sudah lama kita mengobrol dan
kini kau butuh beristirahat,” kata Gaby.
Gaby dan mamanya pun berpamitan. Di
sekolah, Gaby menyampaikan kepada Bu Puji semua yang Rindy rasakan terhadap Bu
Puji selama ini. Bu Puji pun terkejut dengan apa yang diceritakan Gaby
kepadanya.
Suatu hari, Bu Puji ke rumah sakit lagi
untuk menjenguk Rindy. Setelah menanyakan keadaannya, Bu Puji memberi sedikit nasihat padanya.
“Rindy,
Ibu minta maaf, ya,” ucapnya.
“Minta
maaf ? Kenapa, Bu?” jawab Rindy.
“Ibu
minta maaf telah sering menegurmu dengan keras, memberi hukuman, dan berulang
kali menyita sepatumu. Terutama sepatu biru kesayanganmu,” kata Bu Puji.
“Tak
apa, Bu. Aku telah melupakannya. Aku tak mau membahasnya lagi,” jawabnya.
“Bu
guru tahu kau kesal dengan Ibu, tetapi kau tak boleh terus bersikap seperti
ini. Kau berusaha datang terlambat hanya untuk menghindari Ibu, kan? Kau tak
mau datang pagi untuk bersalaman dengan Ibu juga,” kata Bu Puji panjang lebar. Rindy
hanya terdiam.
“Ibu
tahu, Ibu juga salah dalam hal ini. Ibu tak tahu kalau sepatu biru itu adalah
hadiah dari ayahmu. Kalau sudah sembuh, kamu boleh ambil sepatumu, tapi tetap
tak boleh dipakai waktu sekolah.”
“Iya,
Bu.” Jawab Rindy masih sedikit kesal.
“Tetapi
ada hal yang harus kau tahu, Rindy. Dengan bersalaman, dua orang dapat saling memaafkan,
banyak teman, dan tentunya itu menyehatkan,” jelasnya.
“Maafkan
Rindy, Bu. Rindy salah selama ini,” jawabnya.
“Iya,
Nak. Berjanjilah pada Ibu mulai sekarang, bahwa setiap hari kau akan datang
lebih awal seperti dulu dan bersalaman dengan bapak ibu guru,” pinta Bu Puji.
“Saya
berjanji, Bu. Setelah diperbolehkan masuk sekolah nanti, saya akan datang pagi
bersalaman dengan Ibu, dan guru-guru yang lain,” kata Rindy.
“Nah,
ini baru Rindy yang Ibu tahu,” sambungnya. Kemudian, Bu Puji pun berpamitan.
Mereka bersalaman satu sama lain.
Dua minggu kemudian, Rindy sudah
mulai sekolah. Kali ini ia diantar pak sopir. Ia menepati janjinya. Ia datang
lebih awal dari biasanya, bahkan lebih awal dari teman-temannya. Ia pun
bersalaman dengan bapak ibu guru di pintu utama. Wajahnya sangat gembira,
walaupun saat ini ia harus berjalan menggunakan kruk. Namun, ia tetap
bersemangat untuk bersalaman dengan bapak ibu guru.
“Bagaimana, Nak? Sudah merasa lebih
baik?” tanya Pak Iwan.
“Sudah, Pak. Terima kasih Bapak sudah
mengantar saya ke rumah sakit,” jawabnya.
“Perlu Ibu bantu untuk ke kelas?”
tanya Bu Puji.
“Terima kasih, Bu, tidak usah. Itu
ada Gaby,” jawab Rindy.
Setibanya ia di kelas, teman-temannya
menyambutnya gembira. Tempat duduknya sudah tertata rapi. Gaby yang
menyiapkannya. Rindy merasa sangat bahagia.
“Rin,
bagaimana keadaanmu?” tanya Bella.
“Kau
sudah bisa jalan, Rin?” tanya Salsa pula.
“Yang
tanya satu persatu dong. Aku sudah lebih baik sekarang, tetapi masih harus
menggunakan kruk untuk berjalan,” jawabnya.
“Hei
teman-teman! Sekarang Rindy sudah tidak terlambat lagi. Hahaha...” ledek Diki.
“Besok
sudah bisa main basket lagi....” tambah Ridho. Hahahaha.....
Semua teman sekelas menertawakannya.
Rindy pun ikut tertawa.